Mahasiswa
Papua Kupang
Pernyataan
Sikap
“Pesta Demokrasi Sejati
adalah Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri”
Salam
Pembebasan Nasional West Papua !!!
Amolongo, Nimo, Koyao,
Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa !!!
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa !!!
BOIKOT PEMILU 2019 DAN
BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST
PAPUA
West Papua telah mendeklarasikan diri sebagai suatu bangsa
yang merdeka dan berdaulat pada 01 Desember 1961. Namun, usia kemerdekaan ini
sangatlah pendek. Tepat 19 hari setelahnya, Indonesia menganeksasi West
Papua melalui program Trikora. Trikora adalah pintu awal masuknya operasi
militer yang berdarah-darah. Semenjak itu, dan dalam kurun waktu 1961-1991, ada
sedikitnya 44 operasi militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke
Papua. Hasilnya lebih dari 500.000 orang Papua di bunuh.
Sebagian besar rakyat Indonesia percaya, atau dipaksa
percaya, bahwa Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah dan kehendak rakyat
Papua itu sendiri. Proses integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan dengan cara-cara represif dan bertentangan
dengan hukum internasional. Dari 800an ribu jiwa penduduk Papua hanya 1025
orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau
kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi
dengan Indonesia. Inilah alasan mengapa sekalipun proyek mengindonesiakan Orang
Asli Papua berlangsung hingga 50-an tahun lamanya, rakyat West Papua tetap pada
pendirian awal: lepas dari NKRI.
Sejarah
memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia
hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua.
Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962,
ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat secara
one person one vote; genosida perlahan setelahnya selama kurun 50-an tahun;
perusakan hutan yang begitu masif; gizi buruk; eksploitasi begitu masif
terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)—yang
berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua;
ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang; extra judicial killing
terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West
Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Kontestasi
pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai,
beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden,
berebut suara dari rakyat West Papua. Tapi mari kita perhatikan, apakah mereka
bersedia mendengarkan suara rakyat Papua yang paling mendasar, “hak menentukan
nasib sendiri”? Atau bicara soal mengurangi mobilisasi militer dan mengadili
para pelaku pelanggar HAM? Atau menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat
bagi semua kelompok sipil?
Meski
suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat Pilpres
pertama, soal West Papua sama sekali tidak diperbincangkan baik oleh Jokowi
maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track record buruk di Papua dalam
kasus Mapenduma. Namun, bukan berarti Jokowi lebih baik. Jokowi sebagai
incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali
terjadi. Misalnya, kasus Paniai Berdarah yang tak rampung, kasus Deiyai dan
Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan massal
terhadap para aktivis West Papua yang belakangan makin sering terjadi.
Jokowi
memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaannya tidak digunakan untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran HAM terus terjadi. Pembiaran
itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian perbuatan pelanggaran HAM.
Ditambah
lagi, sampai sekarang masih dilakukan
operasi militer di Nduga (Distrik Dal, Distrik Yigi, Distrik Mbua, Distrik
Mikuri, Distrik Enikngal, Distrik Yal, Distrik Mam dan Distrik Mugi).
Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer
itu memakan banyak korban sipil. Puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal,
terjadi penahanan dan pembakaran rumah. Ada setidaknya 20 ribu orang yang
terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut.
Akibatnya,
pendidikan, kegiatan ekonomi, dan keagamaan, tak berjalan dengan normal. Akses
pemerintahan sipil, wakil rakyat, jurnalis, pekerja kemanusiaan, sangat sulit.
Kehadiran aparat TNI/Polri di sana justru menyebabkan rakyat trauma.
Kondisi
hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah
secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu
agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan
rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda
kolonial dan kapitalis Internasional. Media-media Indonesia memberitakan
pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan
Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West
Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di
beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia
terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman,
penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan,
pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah
Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan
tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut
Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini;
termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani,
nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.
Dalam
kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu, wajar jika rakyat West Papua tak
berpusing soal Pemilu maupun Pilpres 2019. Gelaran tersebut hampir mustahil
menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua. Sebab, 1) keberadaan Indonesia
di wilayah West Papua ilegal, 2) tak ada partai politik yang menyuarakan
permasalahan nasional West Papua, dan 3) pelaksanaan Pemilu itu sendiri tak
lain hanya untuk melanggengkan praktek-praktek kolonialisme: menjadi alat bagi
pemerintahan kolonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam
mengamankan kepentingannya.
Kami
dari Mahasiswa Papua Kupang, seperti halnya rakyat West Papua, mustahil
membayangkan adanya demokrasi, kesejahteraan, bagi rakyat West Papua jika masih
berada dalam cengkeraman kolonialisme Indonesia. Tak ada pesta demokrasi jika
rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu kami
mengambil sikap dan menyatakan bahwa:
1. Tidak
mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
2. Segera
tangkap dan adili pelaku pemukulan terhadap massa aksi di malang
3. Tarik
militer organik dan non-organik dari West Papua
4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang lainnya,
yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.
5. Berikan
Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua
6. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi Jurnalis Independent
Internasional dan Nasional di West Papua.
Demikian pernyataan
sikap ini dibuat, kami akan terus menyuarakan dan melakukan perlawanan terhadap
segala bentuk penjajahan, pembungkaman, penindasan dan penghisapan,
terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.
Salam
Solidaritas !
Kupang , 13 April 2019
Mahasiswa
Papua Kupang
No comments:
Post a Comment